SUMEDANG PUSEUR BUDAYA SUNDA: PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH BERBASIS BUDAYA LOKAL

Abstrak:

Komitmen   pemerintah   Kabupaten   Sumedang   dalam   mewujudkan   penyelenggaraan pemerintahan  dan  pembangunan  daerah  berbasis  budaya  lokal  diwujudkan  dalam  kebijakan Sumedang  Puseur  Budaya  Sunda  (SPBS).  Namun  dalam  pelaksanaannya,  kebijakan  tersebut belum  mampu  menghasilkan output pola  penyelenggaraan  pemerintahan  dan  pembangunan daerah yang berbasis kepada nilai budaya Sunda. Atas dasar tersebut, artikel ini ditujukan untuk mengkaji   faktor-faktor   yang   menjadi   penghambat   implementasi   kebijakan   SPBS.   Metode penelitian  yang  digunakan  adalah  metode  penelitian  deskriptif  dengan  pendekatan  kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor penghambat implementasi kebijakan SPBS terdiri dari 2 (dua) faktor utama, yaitu: Pertama, secara substansi nilai budaya Sunda baru bisa diwujudkan secara  filosofis  berupa  nilai-nilai  kesundaan,  belum  sampai  kepada  nilai  praktis/operasional. Kedua,  kebijakan  SPBS  yang  menuntut  keterlibatan  seluruh  pemangku  kepentingan  dalam prakteknya  lebih  banyak  dilakukan  oleh  pemerintah  daerah  Kabupaten  Sumedang.  Atas  dasar tersebut  maka  kebijakan  SPBS  kedepannya  harus  ditunjang  dengan  instrumen  kebijakan  yang praktis/operasional, serta diperlukan peran aktif dari seluruh pemangku kepentingan.

Abstract:

The   commitment   of   the   Sumedang   Regency   government torealizing   governance   and development  based  on local  culture  is  manifested  through  the  policy  of  Sumedang  Puseur  Budaya Sunda (SPBS)/Sumedang as the Center of Sundanese Culture. But in practice, the SPBS policy has not been able to create governance and development based on Sundanese cultural values. On this basis, this  article  aims  to  examine  the  inhibiting  factors  of  SPBS  policy  implementation.  The  research methods were carried  out  through  descriptive  research  methods  with  a  qualitative  approach. The results revealedthat  the  inhibiting  factors  for implementing  the  SPBS  policy  consisted  of  2  (two) main factors: First, in substance, Sundanese cultural values could only be realized philosophically in the form of Sundanese values, not yet practical/operational values. Second, the SPBS policy,which requires  the  involvement  of  all  stakeholders  in  practice,is  mostly  carried  out  by the Sumedang Regency    government.    On    this    basis,    future    SPBS    policies    should    be    supported    by practical/operational policy instrumentsandthe active role of all stakeholders.

Artikel jurnal dapat dunduh di tautan berikut ini: FULL ARTICLE

Published by

Leave a comment